Selamat tinggal
Lupakan tentangku..
Segala tentang kita yang penuh
kesakitan..
Tapi biarlah cinta yang sakit dan
pedih ini…
Ku bawa pulang pada ikrarku sendiri..
Pergilah, jangan pernah menoleh
padaku.
Air mataku bisa ku hapus sendiri..
Kakiku pun masih mampu menopang
ringkih tubuhku..
Jika dulu, semua keyakinanku adalah
semu..
Maka untuk masa laluku, kamu.
Biarkan sekali ini, ku jadikan sebagai
ketiadaan…
Bukan sebab kebencian..
Tentu saja bukan itu…
Tapi ini, tentang rindu yang inginku ku
tabahkan..
Dan tentang cinta yang ingin ku
ikhlaskan…
Selamat tinggal..
Cukup kau sampaikan pada masa
depan..
Bahwa dulu, masa lalu tentangku..
Hanya seling hidupmu..
Tak akan pernah bisa mengusikmu
lagi..
Selamat tinggal..
Selamat melupakanku..
Selamat berbahagiaa.. 🙂
• • •
Bukan kebencian..
Bukan juga hendak menjadi musuh..
Atau memutus silaturahim..
Tapi hati pada raga yang
mencintaimu..
Akan hanya mudah dan terlalu rapuh..
Untuk lagi dan lagi patah pada
harapan semu..
Maaf, untuk segalanya…
Mungkin akan lebih baik..
Jika kita tak disebut “masa lalu”
Itu hal yang paling menyakitiku..
Iyaa, anggaplah kita (aku) sebagai
ketiadaan..
Tak harus kau ingat..
Atau kau pilah sebagai teman lagi..
Cukup menjadi sesuatu, yang benar-
benar tak pernah ada. 🙂
Tenanglah, takkan lagi ku toreh kata
di tempat kau berada. Hanya untuk
menjelaskan keberadaanku.
Tenanglah jua, aku tak akan lagi
mencari perhatianmu, hanya untuk
mengingatkanmu bahwa aku masih
mencintaimu..
Jika dulu aku selalu berusaha
mencintaimu sebaik mungkin..
Maka kini biarkan itu tetap ku
lakukan…
Dengan pelan dan pasti menjadi
‘ketiadaanmu’ :’)
Selamat TINGGAL..
Doaku, semoga kita tak lagi pernah
menjadi siapa-siapa. Semoga kau
segera meniadakanku, dan berbahagia
selalu.. :’)
Arsip
All posts for the month Februari, 2014
Selamat tinggal kau yang dulu..
Lupakan tentangku..
Segala tentang kita yang penuh
kesakitan..
Tapi biarlah cinta yang sakit dan
pedih ini…
Ku bawa pulang pada ikrarku sendiri..
Pergilah, jangan pernah menoleh
padaku.
Air mataku bisa ku hapus sendiri..
Kakiku pun masih mampu menopang
ringkih tubuhku..
Jika dulu, semua keyakinanku adalah
semu..
Maka untuk masa laluku, kamu.
Biarkan sekali ini, ku jadikan sebagai
ketiadaan…
Bukan sebab kebencian..
Tentu saja bukan itu…
Tapi ini, tentang rindu yang inginku ku
tabahkan..
Dan tentang cinta yang ingin ku
ikhlaskan…
Selamat tinggal..
Cukup kau sampaikan pada masa
depan..
Bahwa dulu, masa lalu tentangku..
Hanya seling hidupmu..
Tak akan pernah bisa mengusikmu
lagi..
Selamat tinggal..
Selamat melupakanku..
Selamat berbahagiaa.. 🙂
• • •
Bukan kebencian..
Bukan juga hendak menjadi musuh..
Atau memutus silaturahim..
Tapi hati pada raga yang
mencintaimu..
Akan hanya mudah dan terlalu rapuh..
Untuk lagi dan lagi patah pada
harapan semu..
Maaf, untuk segalanya…
Mungkin akan lebih baik..
Jika kita tak disebut “masa lalu”
Itu hal yang paling menyakitiku..
Iyaa, anggaplah kita (aku) sebagai
ketiadaan..
Tak harus kau ingat..
Atau kau pilah sebagai teman lagi..
Cukup menjadi sesuatu, yang benar-
benar tak pernah ada. 🙂
Tenanglah, takkan lagi ku toreh kata
di tempat kau berada. Hanya untuk
menjelaskan keberadaanku.
Tenanglah jua, aku tak akan lagi
mencari perhatianmu, hanya untuk
mengingatkanmu bahwa aku masih
mencintaimu..
Jika dulu aku selalu berusaha
mencintaimu sebaik mungkin..
Maka kini biarkan itu tetap ku
lakukan…
Dengan pelan dan pasti menjadi
‘ketiadaanmu’ :’)
Selamat TINGGAL..
Doaku, semoga kita tak lagi pernah
menjadi siapa-siapa. Semoga kau
segera meniadakanku, dan berbahagia
selalu.. :’)
Kusadari aku begitu mencintainya,
bahkan aku tak bisa mencintai diriku seperti mencintainya.
Namun seberapa pun aku
mencintainya, tak seharusnya ia
memperlakukanku seperti ini:’)
Benar, ini bukan salahnya. Toh aku
yang menyalakan api ini, jika akhirnya aku yang terbakar tak adil bukan menyalahkannya?
Tapi salahkah jika ku minta satu hal? Tentang perasaan ini, mengapa ia tidak melakukan sesuatu? Menolakku
misalnya? Iya jika tak lagi mencintaiku, mengapa
ia tak menghentikanku?
Mungkin bukan masalah buatnya jika aku terus mencintainya, dan terus menerus mengemisinya. Toh bukankah yang lelah itu aku, terluka dan sakit pun aku?
Tapi tak punyakah ia sedikit saja rasa kasihan?
Andai ia tahu bagaimana perasaan ini, bagaimana aku mencintainya, bagaimana aku memikirkannya setiap
hari dan bagaimana besarnya aku
mengharapkannya menjadi bagian dari hidupku..
Oh mengapakah tak bisa ia melakukan sesuatu untukku, jika ia tak bisa mengasihani aku sebagai sesiapanya
setidak ia melihatku sebagai
manusia 😥
Walaupun kata-nya diam itu baik,
ketika berbicara itu lebih baik,
mengapa tidak untuk mengatakan isi hati?
Benar, tak bisa ku paksakan apapun padanya, bahkan sekedar mengatakan isi hatinya. Kusadari setiap orang punya alasan, dan tentu ia punya alasan. Termasuk ketika ia memilih untuk diam, sebagaimana aku memilih untuk bertahan. Iya, tiap-tiap
kita punya pilihan :’)
Huffh walau pada akhirnya kediaman itu membuat ciinta ini benar-benar membuatku terluka, dimana terus saja aku bertahan dan tak menyerah tanpa
pernah melihat “diriku”…
Iya, bagaimana mungkin aku
mencintai wanita yang begitu
sempurna di mataku sedang aku
menyadari aku tak melihat apapun
didiriku untuk sekedar
mendampinginnya..
Ahh andai saja ada yang
memberitahuku, dan menyadarkanku.
Membangunkanku dari mimpiku
yang terlalu tinggi ini, mungkin aku takkan berlama-lama mengusik hidupnya, mencampuri hidupnya seolah-olah aku berhak atasnya, ahh aku ini tak menyerah atau memang
tak tahu diri? :’)
Aku mungkin seharusnya tak
menuntut ia mengerti aku, memahami permintaanku. Tapi jika bisa, tanpa perlu tahu apa yang aku harapkan dan
tanpa perlu mengerti keinginanku, aku hanya pinta SATU jawaban atas perasaan ini. Hanya itu. Ahh tapi itu jika bisa :’)
Karena bukankah berlama-lama pada perasaan seperti ini takkan baik? Jika memang harapan itu tak ada pun masih ada, mengapa tidak untuk memberiku jawaban?
Cinta, seperti dulu. Takkan lagi
kupaksakan. Entah masihkah sama atau telah berbeda, bagiku ketulusan‘saling’ adalah hal terpenting. Ia tak
perlu mencemaskan akan putusnya silaturrahim, cinta bukankah akan selalu memberi kebaikan? Maka percayalah, harapan yang patah
takkan mematahkan kebaikan pula 🙂 Sebagaimana cinta yang tumbuh tanpa alasan, setidak patahnya harapan takkan pernah memberinya alasan untuk membenci…Sebabnya, apapun yang alasan dari diamnya, entah tentang kebenaran
rasa, ataupun kecemasan-kecemasan
yang tak aku ketahui. Pada akhirnya kejujuran akan ganjalan hati lebih baik diungkapkan ketimbang hanya dibekukan.
Bukankah seperti itu?
Aku hanya pinta satu hal itu…
Untuk sekali saja..
Sebagaimana semua tahu…
aku percaya tentang apa yang aku dengarnya..
Maka “dengarkan” suatu jawaban
untukku :’)
•••
Dalam derai air mmata, ku mendoa…
Duhai Pemilik Cinta..
Jika ia bukan untukku, dan bahkan
jika aku memang pantas ia abaikan..
Aku hanya memohon, berilah aku
kesabaran atas rahasiaMU tentang cinta yang ku pertahankan ini..
Lalu ingatkanlah aku jika aku telah
menyakitinya dengan kehadiranku, lalu
sadarkankan aku, agar ku bisa
melangkah dan mengalah untuk
mengikhlaskannya..
Yaa Muhaimin..
Lapangkan hatiku kelak jika cinta ini bukan milikku, dan biarkanku hidupuntuk mereka orang-orang yangmencintaiku..
Dan jika Engkau izinkan, biarkanlah sekali lagi kurasakan jatuh cinta seperti ini. Kepada seseorang yang menurutmu baik untukku, yang mencintaiku dengan ketulusannya..
Pun untuknya, bahagiakanlah ia
dengan pilihan hatinya, dengan
seseorang yang ia cintai dengan
sepenuh hatinya…
Aamiin Allaahummaamiin (⌒˛⌒) :’)
Atas Nama Cinta..
“Kekasih kecilMU” :’) ♥
Bagaimana aku akan belajar tentang
ikhlas dari sebuah kepergian, sedang
kau tak pernah benar-benar pergi
kecuali hanya seperti meniadakanku..
Pernah beberapa kali ku berfikir kau
telah pergi dan meninggalkanku, tapi
setelahnya begitu jelas kau hadir
dalam ingatanku dan di waktu-waktu
tertentu kau mampu mendetakkan
jantungku kembali hingga
membangunkan harapanku yang telah
coba kutabahkan..
Lalu pertanyaanku, seberapa akan
sakitkan dada ketika sebuah kepergian
terjadi? Iya, sebab aku tak pernah
merasakannya darimu, sehingga aku
tak tahu rasanya seperti apa, yang
aku tahu dari rasa sakit adalah hanya
sebuah kepergian yang tak pernah
terjadi namun nyaris seperti tiada.
Atau seperti rasa sakit, dari harapan-
harapan yang sepertinya kekosongan
belaka..
Nilai sakit dari sebuah kepergian,
seperti yang sudah-sudah hanyalah
sebuah sakit yang akan mengajarkan
bagaimana menabahkan hati lalu
mengikhlaskan seseorang. Tapi
bagaimana dengan sebuah kepergian
yang tiada namun ada? Lebih dari
sekedar luka atas kepergian, ia tak
hanya mengajarkanku tentang
ketabahan atau pun keikhlasan,
namun uji akan kesetiaan dan
besarnya arti pengorbanan menjadi
nilai tersendiri pada keadaan ini…
Iya, seberapa pun jauh kau mencoba
pergi dan mengabaikanku, cinta selalu
menahanku untuk tetap menunggu
kepulangan hatimu.
Namun jika kau benar-benar ingin
pergi, cukup kau genggam hatiku. Lalu
katakanlah kau tak sungguh-sungguh
mencintaiku ~
Maka mengikhlaskan kepergianmu
akan sama mudahnya mengikhlaskan
kepergian-kepergian yang pernah ku
kecapi..
Sebab kau tahu, cinta selalu memberi
ruang kebebasan kepada yang
dicintainya, hanya cukup kau
ungkapkan ~ maka terjadilah..
Untuk setia, cinta terkadang tak butuh
balasan..
Karenanya bahkan kepergianmu
takkan pernah membuat cintaku
meninggalkanmu..
Kau boleh pergi, dan aku boleh
ikhlaskanmu..
Tapi cintaku akan setia
mendoakanmu..
“Helaan nafas semakin panjang,
menyadari segala yang dulu ada
akhirnya akan hilang jua. Kedatangan
mungkin akan selalu begitu
mengajarkan kepada kita rasa dari
kepergian“
Saat ini, aku bahkan tak bisa menebak
sedalam apa luka yang aku rasakan.
Setiap waktu yang kulihat didiriku
hanyalah kekosongan, kehampaan dari
rasa sakit yang menohok begitu pedih
di rongga hatiku. Begitupun,
kepercayaan dari segala kenyataan
yang tlah terjadi tak mampu dicerna
akal sehatku, jiwaku benar-benar
terhempas di lorong yang tak
berujung. Aku sungguh tersesat, aku
mati!
Sering ku bisikkan di batinku, aku
baik-baik saja! Tetapi lahirku nyaris
tak pernah mampu meyakinkan fikirku
untuk tak menderaikan air mataku.
Ada apa dengan kenyataan ini? ia
membuat logika dan perasaanku
hancur menjadi kepingan tak
berbentuk.
Namun lingkar waktu yang
membawaku hingga ketitik ini tak
pernah membuatku menyesal. Darinya
aku tlah banyak belajar. Kesabaran itu
tak di ukur dari seberapa lama atau
setianya aku menunggu. Lebih dari itu
aku tlah belajar, mengikhlaskan itu
seperti apa. Ia bukan tentang aku tak
harus menangis, bukan juga tentang
aku harus tersenyum. Tapi tentang
bagaimana melepaskan demi sebuah
kebaikan dan kebahagian dari tetakdir
yang seharusnya. Sebab pada
akhirnya hanya titah cinta dari Tuhan
yang berlaku. Mencintai karenaNya,
harusnya melepaskan juga karenaNya.
Sebenarnya aku sedang berfikir akan
menulis apa di Februari ini. Mungkin
akan menulis tentang cinta, seperti
tema-tema yang kini banyak tertuang
di bulan yang katanya adalah bulan
cinta.
Tapi bukankah memang selalu tentang
cinta? Iya, seharusnya aku tahu, aku
tak pernah mengenal bulan cinta,
sebab hari-hariku adalah cinta,
tulisanku adalah cinta. Tak perlu
Februari tuk mengkhususkannya,
bukan?
Aah tak perlu mempermasalahkan
fakta bulan cinta dan cinta itu sendiri.
Hanya kita perlu tahu, cinta selalu
butuh moment. Butuh waktu. Butuh
masa di mana kita ingin memastikan
cinta itu benar ADA-nya. :’)
Aihh apa ini, lagi-lagi cinta yang tak
terusaikan, cinta yang tak tuntas di
ranah jarak. Cinta yang tak pernah
habis terceritakan. Maaf, sejenak tadi
ingin kupatahkan ingatanku untuk tak
menoreh tentang cinta, tapi tungkai
rindu lebih besar dari angin yanng
membadai, aku harus terkukuh
olehnya. Aku jatuh lagi, pada rindu
yang ingin ku damaikan di kesepianku.
Di cinta yang tlah begitu lama
mendiam…
However, tak pernah ada detik yang
mendetak tanpa cinta. Apalagi
hanya ingin memomenkannya di satu
waktu. Cinta itu adalah nafas itu
sendiri. Ia ada di setiap hari… Meski
terkadang kita perlu moment,
pastikanlah cintamu ada di setiap hela
nafasmu..
Owkeeeeh 🙂 😉
Ini akan sangat melukaiku, untuk menulis dan mengakui bahwa aku tak bisa berhenti mencintainya. Akan tetapi sejauh mana aku bisa berlari menghindarinya, kenyataannya rinduku selalu selangkah lebih jauh dariku
Sejak hari itu, benteng kokoh ku bangun dihatiku. Bukan, bukan untuk menahan segala sakit karena tidak dicintai lagi. Jelas bukan itu, sejak awal, ketika pertama kali kurasakan sesuatu yang lain dihatiku, aku bahkan lupa kapan itu terjadi, tapi aku ingat betul saat itu hari hari ku dipenuhi hal-hal bodoh, kadang aku tertawa, menangis dan marah untuk sesuatu yang tak aku mengerti, hingga akhirnya aku tahu, aku telah jatuh cinta. Tentang jatuh cinta, tak perlu aku jelaskan, hal seperti itu akan membuat seseorang menjadi penguntit nomer 1, iya, membuat ingin tahu segalanya, juga tentang perasaannya.
Seperti kukatakan, aku takkan menyerah hanya karena kesakitan, apatalagi bersikap kekanak-kanakan dengan cara menghindar. Karena tentang rasa sakit, aku sudah terlalu terbiasa untuk menjadikannya alasan, sebab jauh sebelum akhirnya dia memutuskan memilih yang lain, aku tlah banyak belajar dan mengenal luka. Bagaimana merasakan sakitnya rindu pada seseorang,menangis dan marah ketika bahkan yang dirindukan tak melakukan salah. Hingga ketika rindu tak terbendung akhirnya kau melepas dinding bernama harga diri,pun bagaimana letihnya merasakan hari-hari dalam ketidakpastian cinta, menahan rasa rindu yang begitu melukai pada seseorang yang katanya mencintaimu, lalu terus menunggu dalam pedihnya pengabaian-pengabaian. Lantas bagaimana akan mengatakan bahwa aku menjauh karena begitu telah terluka oleh pencampakan, oh tentu saja lagi-lagi kukatakan rasa sakit bukanlah alasan mengapa ku putuskan menghindar.
Menyerah untuk orang yang aku cintai? Membenci karena dicampakkan? Tentu, dua hal tentangnya yang tak ada dalam kamusku. Namun jika benar, kini aku nampak menyerah. Bolehkah kukatakan kebenarannya? Iya, aku tak pernah menyerah, walau bahkan aku telah memasang benteng setinggi apapun dihati. karena faktanya, aku semakin mencintainya, hanya saja kini caraku mencintainya telah berbeda, jika dulu aku mengikatnya dengan kuat, maka kini aku harus membebaskannya. Hal apapun itu kecuali dalam kontes aqidah akan aku lalui dan takkan pernah menyerah untuk memperjuangkan perasaanku. Tapi satu hal yang tak bisa kupaksakan, tak bisa kutahan dan kucegah, meski dalam hukum alam aku bisa saja melakukannya. Satu hal itu adalah — memintanya tak berhenti mencintaiku — Jadi, siapapun ahh atau hai kau pradugaku, jangan berfikir aku menghindarnya karena alasan kebencian — sebab bagaimana bisa aku membencinya sedang cintaku terus mendoakan kebahagiaannya, memohonkannya ditiap sujud2ku agar ia takpernah merasakan luka cinta sedikitpun. Ah menanggung luka cinta, apa sulitnya bagiku? pun bahkan jika boleh, luka cinta yang dia punya akan aku tanggung serta. Aku tak pernah membencinya, sungguh. Hanya saja aku harus menghindarinya, iya mengindari – menumbuhkan harapanku yang tak dia harapkan dan menghindari – sesuatu yang dia hindari.
***
Kepadamu, terima kasih pernah mencintaiku. Jika waktu bisa terulang, hal yang tak pernah kusesali adalah jatuh cinta lagi padamu ~
Hiduplah dengan baik dan sehat, tentang apapun yang tertulis olehku dimanapun itu, maaf karena aku tak cukup baik menyembunyikan perasaanku, semoga kau bisa memakluminya, anggaplah itu hanya seling hidup bahwa aku pernah ada dihidupmu. Ku slalu mendoakan kebahagiaanmu dan tentu kepada siapapun lelaki beruntung yang kini di sisimu.
Satu hal lagi — maaf, karena terkadang, walau seberapa kuat kutahan tak menulismu dalam doaku. Aku tak bisa menahannya