“Untuk dunia yang terus berdusta
Aku hanya harus setia memapah dosa..”
Tapi siapakah diri..? aku tidak banyak mengerti akan hal-hal yang mungkin bisa mendinginkan harimu. Apalagi yang mampu membasuh jiwamu. Yang aku tahu bahwa setiap detak, langkah, nafas, dan segala makna juga prinsip hidupku adalah batas yang kubangun dan tak akan kulampaui. Kalaulah pada titik itu kamu tidak jua bisa merebahkan penatmu di bahuku, kamu yang tetap setengah hati mencecap hadirku, mungkin itulah batas yang kamu bangun. Aku hargai itu. Aku hormati semua penolakanmu, semua diammu, semua alasanmu bahwa apa yang kita jalani memang mesti begini adanya. Tapi, aku kecewa, sebab tidak sedikitpun kamu sudi tuk menengok bahwa aku menapaki semua ini bak berbaring di altar-altar waktu yang mengunci semua gerakku. Tidak sekejap pun kau melampirkan ikhlas sapa untuk menunggu ketertinggalanku mengejar arti lain dirimu.
Lalu, aku pun luka..
Dan tahukah kamu, bahwa sedari mula aku senantiasa meyakinkan diriku; kamu adalah rembulan di hamparan gulita malamku. Namun, pada akhirnya kamu hanya mampu menjadi lilin yang begitu mudah padam tertiup angin. Hadir sejejak saat kamu butuh. Saat kamu memerlukan sebuah kehadiran hanya untuk meredakan kekosongan hasratmu. Lalu mengerjap hilang, meninggalkanku kembali terpuruk dalam harapan yang dalam akan dirimu. Sementara kamu aku tak pernah tau dimana.? Dan itu bagiku terlalu menyebalkan. Karena di ujung cerita yang terbias adalah perasaan bahwa aku telah bersikap tidak adil bagi kamu dan diriku sendiri.
Mungkin, dulu aku tak pernah memikirkan batas itu. Sebab dalam yakinku suatu hari nanti kamu akan terbuka dengan penuh tulus hati menerima kenyataan apa adanya diriku. Dan aku begitu pongah dalam kebanggaan bahwa hidupku telah begitu bernilai saat aku mampu menyibak semua ini. Mampu menangkup satu tujuan yang meskipun sederhana, juga tolol, namun itu tulus di dasar inginku. Dan itu adalah dirimu. Adalah kamu. Tapi, aku kelelahan, aku selalu saja remuk sebelum hal itu tercapai. Bukan oleh kerapuhan aku menyibak keraguan akan dirimu, tidak juga oleh kurangnya kemampuan dan upaya aku menyikapi semua ini, atau oleh fakta sikapmu yang terkadang begitu ‘rendah’ menilai keberadaanku. Namun oleh teriakan lain ego batas yang kubangun dulunya, bahwa aku sudah sangat melenceng. Tidak fair, apalagi jujur mengamini kenyataan bahwa aku mungkin bukanlah orang yang sesuai untuk penantianmu. Aku, pada akhirnya hanya harus mengakui bahwa diri ini tidak memiliki sebutir hal pun yang bisa kamu hayati adanya, dan mengekalkan ingatmu pada diriku lewat hal itu.
Tapi semua itu takkan kusesali, sebab apapun yang kuterima saat ini, bagiku ia sangat berharga. Kalaulah aku sekarang terlihat begitu angkuh, berbicara banyak tentang hal-hal yang rumit, juga tolol, toh aku hanya bisa berharap atau mungkin acuh untuk kamu melampirinya dengan kenangan bahwa aku juga pernah meruntuhkan segalanya di hadapmu; Ego, prinsip, kerinduan, amarah, ketulusan, harapan, dendam. Kenang pula bagaimana tanggapmu akan semua itu yang hanya terwujud dalam sebentuk diam. (sekali lagi aku bilang aku hormati itu, namun bacalah.! Ada banyak hal lain yang tidak bisa selalu disikapi dengan kebisuan, apalagi ketidakjelasan arah).
Untuk kenyataan bahwa kita berbeda, aku bisa menerima itu. Kenyataan bahwa kita butuh waktu, jarak, ruang, kekuatan lain untuk menjalani semua ini aku juga masih mampu mereguknya. Apalagi kenyataan bahwa aku terkadang begitu memilukan, tak mampu bersikap dewasa — balance pada semua hal, pesimis, over sensitif, dan hal lain yang mungkin bisa melegakan ‘kemenanganmu’, aku tak akan mundur setapak pun. Tapi, untuk kenyataan bahwa sebenarnya kamu tidak pernah menganggap dengan tulus keberhargaan keberadaanku, lebih bisa berbagi hati dengan orang lain, maka aku tidak akan menyebrangi hal itu. Sebab itu terlampau percuma, dan sangat memalukan (untuk menyebutnya terlampau menyakitkan) bagi diriku.
Mungkin sisi lain aku terlalu cemburu. Tidak jua mampu bertahan dalam keyakinan bahwa kamu juga merasakan hal yang sama. Tapi, dimanakah aku bisa menemukan keyakinan itu.? Di telapak sikapmu yang seringkali menyerah dan cukup menghentikanku dengan diam dan emosi atas ketidakjelasanku tentang hadirmu, jua perasaanmu.? Di binar keangkuhanmu untuk mengakui adanya sebuah jalinan antara kita pada mata orang lain.? Ataukah di jejak kesadaranmu bahwa karena aku takkan mampu meninggalkanmu sebab aku terlalu mencintai, lalu kamu berbuat selebur inginmu.? Adakah kamu mengerti ini sangat menyesakkan bagi diriku.?
Separah inikah jalinan kita.? Kenapa kita tak pernah mencoba.? Adakah kita terlampau letih, lalu jemu menjenguk hati masing-masing.? Aku mencintaimu, sebab ada keheningan yang berbicara dalam riuh hariku bahwa engkau adalah samudera harapku. Pelita tujuku. Kamu unik dan karenanya aku tak ingin kamu jauh. Namun, di sudut lain nalarku ada batas yang berbicara tentang kealpaan aku mengingat diri. Bahwa bertahun lamanya aku membangun hidup pada satu hal, maka ia tidak boleh aku runtuhkan dengan hal yang melanggar batas itu. Sungguh kalau hingga nantinya sikapmu hanya berhenti di sana, itu akan menyebabkan aku menemui batas yang tidak kuinginkan. Dan aku lebih baik mengalah, berbelok meski (mungkin) sembari melipat airmata menjauhi hal tersebut.
Pahami bahwa aku mencintaimu, hanya itu yang selalu kulakukan dan apa yang bisa kamu lihat jejaknya di setiap, huruf, kata, kalimat, bahasa, desah, detak, gerak, watak dan perihal lain yang sudah kuutarakan semuanya padamu. Pahami bahwa aku hanya berusaha untuk mengerti inginmu, dirimu. Walau itu terkadang menyebabkan aku berbuat sesuatu yang menurutmu adalah sebuah kesalahan. Toh’ selalu pula aku mendampinginya dengan koreksi dan kejujuran.
Dan kamu..?!!!! aku tak pernah tahu.