Menyandarkan kebahagiaan dan kesedihan pada pujian dan celaan orang lain hanya akan membuat kita jadi orang yang lemah pendirian, dan gampang kecewa dengan keadaan. Mengubah diri menjadi seorang independen memang bukan hal mudah. Pertama kali yang harus terjadi adalah kesadaran dari dalam. Sebuah kesadaran bahwa dependensi (kebergantungan) selain kepada Sang Maha Pencipta hanya membuat kita menderita, terutama jiwa kita.
Percaya atau tidak, kebergantungan pada persetujuan orang lain atau tepatnya orang banyak (kendati itu mungkin saja keliru) bisa membuat kita kehilangan kekritisan kita. Gampang sekali sesuatu yang remeh-temeh mengubah paradigma kita dan menceburkan kita pada perilaku impulsif yang kemudian kita sesali sendiri.
Ya, mudah dikatakan, namun proses belajar atau latihan menuju independensi membutuhkan kekuatan ‘kehendak’ yang luar biasa dari dalam diri kita. Kekuatan yang membuat kita berani berkata ‘TIDAK’ sekaligus berani juga mengakui kesalahan jika memang salah.
Semua itu berlaku rasanya bahkan untuk semua hal, entah keyakinan spiritual maupun pilhan-pilhan hidup kita yang lainnya. Menyadari sepenuhnya apa motivasi kita memilih sesuatu akan memudahkan kita memahami resiko yang akan kita tanggung, dan kita biasanya jadi cenderung lebih siap untuk menghadapinya.
Tantangan pertama dalam mempertahankan keyakinan/pilihan hidup nyatanya adalah diri kita sendiri. Salah satu wujudnya adalah perasaan butuh terhadap dukungan orang lain. Demi memperoleh dukungan itu kita bahkan seringkali berlebihan hingga tanpa sadar cara-cara ofensif pun kita lakukan untuk menghalau ketidaksetujuan, dan menjadi sangat depensif pula saat mendapatkan ‘serangan’.
Padahal keyakinan bisa disebut benar-benar mengkristal dalam diri, manakala kita sudah tak peduli lagi orang setuju atau tidak setuju dengan apa yang kita pilih. Kita sudah tak lagi merasa perlu untuk marah dan mendebat pendapat-pendapat yang menentang, dan tidak juga gampang terperdaya oleh iming-iming manis yang berniat mengubah keyakinan kita.
Jika ternyata kita masih merasa perlu untuk membalas celaan dengan celaan, debat kusir dengan debat kusir, masih pula lemah semangat saat dukungan terhenti, jadi berubah haluan hanya karena senyuman manis, maka bisa dipastikan bahwa keyakinan kita masih dipertanyakan.
Dependensi (kebergantungan) full itu memang semestinya hanya kepada Allah. Kesadaran akan hal ini biasanya akan menggiring seseorang menjadi sangat ingin mandiri dari dominasi penilaian manusia yang memang serba relatif kebenarannya.