Bila melihat secara utuh kehidupan berbangsa kita, acapkali kita melihat segala sesuatu menyangkut hubungan sosio-kultural kemasyarakatan, praktek-praktek administrasi kepemerintahan, penyelanggaraan ritual keagamaan, kegiatan interaksi budaya, proses pendidikan sekolah-universitas serta apapun saja mungkin tidak berlebihan bila kita sebut dengan hanya tampak secara permukaan. Permukaan ini bisa kita asosiasikan dengan hanya sebatas kesan agar supaya tampak, ataupun semacam sopan santun sosial ala kadarnya tanpa adanya makna mendalam. Gamblangnya kalau di analogikan di dalam sebuah kegiatan ke-organisasi-an, hal-hal semacam itu adalah administrasi belaka. Bahasa politiknya disebut pencitraan.
Bisa kita berangkat dari hal-hal kecil dalam kehidupan kita. Ketika ada gotong-royong membersihkan jalan kampung, seringkali kita lebih suka memilih untuk datang ketika pelaksanaan sudah hampir selesai. Kita tiba-tiba nongol, pegang arit dan cangkul sebentar terus setelah itu kita ngerokok dan mengobrol. Setelah cukup memberikan citra diri kita kepada para tetangga, kita diam-diam pulang meninggalkan kerja bakti. Itu kita lakukan agar kita tidak ketahuan bahwa sesungguhnya kita adalah penganut ideologis individualis. Dan membuat kesan kepada masyarakat kita sudah ikut kerja bakti, meskipun tenaga yang kita sumbangkan tidak signifikan.
Ambil contoh lain, ketika kita berhari raya idul fitri dimana merupakan momentum untuk saling maaf-memaafkan. Kita ketemu tetangga, handai taulan, sanak keluarga, para kerabat untuk saling berjabat tangan mengalalkan kesalahan-kesalahan kita kepada orang lain agar setelah itu hubungan sosial budaya dengan orang tersebut lebih meningkat secara kualitatif. Kebanyakan kita tidak pernah sanggup untuk beristiqomah dan memahami konteks sejati idul fitri. Dan menganggap prosesi sakral itu menjadi tidak begitu penting. Sehingga setelah bersilaturahmi itu kita kembali membuat dosa lagi dengan “ngrasani”, mempergunjing orang, ngrumpi serta menyimpan semacam dendam, iri dengki melihat umpamanya gemerlapnya kekayaan tetangga kita setelah pulang dari rantau. Namun kita perlu saling berjabat tangan agar terkesan kita sudah saling memaafkan, meskipun dalam kenyataannya kita tetap saja menimbun rerasanan dan dendam pribadi. Ritual Idul Fitri menjadi hanya sebagai ritus belaka yang maknanya mengalami distorsi perubahan budaya dan menjadi kurang mendalam.
Dalam kegiatan penyelenggaran kepemerintahan, praktik pencitraam untuk formalitas, bisa kita lihat dari berbagai macam praktek pengelolaan kegiatan pembangunan. Dan dari institusi inilah ideologi formalitas adminitratif menemukan lahan yang subur. Berbagai proyek kegiatan yang output seharusnya adalah bersifat kualitatif melalui indikator-indikator yang di rumuskan dalam petunjuk teknis, di reduksi menjadi hanya sebatas laporan kertas usang yang di otak-atik sedemikian rupa yang lolos prosedural. Jangan dulu dilihat dari level pusat, kita lihat dahulu dari tingkat desa ataupun kecamatan, bahwa sesungguhnya manipulasi administratif sudah menjadi pemandangan yang lumrah dan jamak. Cukup bermodalkan berita acara dan daftar hadir (meskipun terkadang sesungguhnya tidak pernah ada rapat atau pertemuan), kita dapat dengan mudah melakukan manipulasi keuangan yang insyaallah tidak akan ketahuan oleh badan pengawas.
Kampung kita umpamanya mendapatkan dana, untuk kegiatan pembangunan prasarana umum yang akan dimanfaatkan untuk kaum miskin. Sudah bukan rahasia umum, apabila harus ada uang pelicin untuk memperlancar proses adminitrasi. Dan kita juga sudah terbiasa dan terdidik untuk tidak bodoh ataupun lugu untuk menyikapi hal tersebut. Potong-pemotong dana proyek kita anggap sebuah kewajaran dan bukan perbuatan nista. Karena kita juga cukup cerdas bisa dengan memainkan mark-up kuitansi, penggelumbungan harga, manipulasi material sampai mengurangi campuran adukan bangunan. Mau bangunan itu hancur dalam beberapa bulan bukan hal yang mengkhawatirkan kita. Yang penting saya dapat proyek dan pekerjaan sudah sesuai target. Dana umpamanya 1 Milyar, sangguplah kita buat LPJnya, meskipun realiasi sebenarnya hanya taruhlah sebesar 700 juta atau bahkan tidak pernah ada kegiatan pembangunan namun pertanggungjawaban administrasinya lengkap.
Syndrom formalitas administrasi itu bahkan telah menyusup ke dalam gedung-gedung sekolah, kampus-kampus universitas, yang di sanalah sebenarnnya kita harapkan mendapatkan nilai-nilai kesejatian hidup, yang mengajarkan kebenaran, pendidikan ketrampilan, kecerdasan ilmu pengetahuan sebagai bekal hidup kita. Karena tidak mungkin pendidikan yang tinggi derajatnya akan mengajarkan kecurangan. Dan tidak ada pembelajaran yang meniatkan untuk membiarkan manipulasi.
Di sekolah-sekolah kita, telah menjadi apa yang kita sebut sebagai kapitalisasi pendidikan. Anak kita tidak mempunyai nilai yang cukup untuk masuk dalam sekolah favorit ataupun universitas negara unggulan, namun dengan tabungan dan kekayaan kita, peluang untuk mencicipi sekolah dan kampus itu menjadi terbuka lebar. Di kampus-kampus kelas dua bahkan kecenderungan sikap permisif yang tinggi mampu memberikan kita ijasah tanpa harus susah-susah menempuh proses kuliah yang melelahkan. Dan konyolnya adalah bahwa kita bahkan bisa menyaksikan, untuk jenjang strata S-2 di sebuah perguruan tinggi negeri terpandang di negeri ini pada saat sidang ujian tesis juga terkontaminasi syndrom berbahaya ini. Seorang mahasiswa, calon master namun tidak menguasai apa yang di tulis di dalam tesisnya tersebut dan tidak mampu menjawab satu bijipun pertanyaan yang diberikan penguji. Dan anehnya dinyatakan lulus dan merengkuh gelar master.
Motivasinya jelas. Kampuspun mendapat citra yang baik apabila sanggup memwisuda mahasiswa dengan cepat, tepat waktu, meskipun kompetensinya adalah nol besar. Karena sangat berbahaya sekali apabila terlalu idealis sehingga menyebabkan mahasiswa drop out sehingga tentu akan membuat cela sekolah di mata masyarakat. Untuk itu, sederhana saja, bahwa kampus sekarang berlomba-lomba memwisuda beribu-ribu mahasiswa dengan indeks prestasi kumulatif (IPK) yang cukup tinggi. Tidak berlebihan memang bahwa kampus dan sekolah saat ini telah mengalami reduksi nilai-nilai yang menciderai semangat ilmiah. Universitas bukanlah tempat pendidikan namun sebuah perusahaan untuk menangguk keuntungan setinggi-tingginya dengan menyedot dari SPP mahasiswa.
Dan puncaknya adalah ketika penyelenggaran kenegaraan juga melakukan pencitraan kepada masyarakat. Seolah-olah pertumbuhan ekonomi naik signifikan, angka kemiskinan mengalami penurunan, Indeks Pembangunan Manusia semakin meningkat bagus. Meskipun secara realitanya masih banyak kita lihat pengangangguran, gelandangan, anak-anak terlantar dan ribuan keluarga yang hidup di bawah garis kemiskinan serta berjenis-jenis problema sosial yang tidak habis-habis. Namun para pejabat negara yang terhormat dengan kesombongannya meng-klaim bahwa telah terjadi kemajuan dan menganggap orde kepemerintahannya adalah yang berhasil.
Adapun rakyat indonesia yang lugu juga sudah tidak perduli dengan itu semua. Mereka tetap tidak bergeming dengan bobroknya birokrasi, penilapan besar-besaran uang rakyat, korupsi yang tidak pernah tuntas, ketimpangan hukum dan segala macam penodaan atas hakikat negara itu sendiri. Bila di negeri yang lain mungkin sudah mencapai titik kulminasi untuk melakukan perubahan yang revolusioner.
Karena memang ternyata ada tidak ada negara tidak ada masalah, karena toh mereka menganggap sama saja bahwa penyelenggaraan kenegaraan ini hanya sebuah formalitas belaka.
Gilang Prayoga
Bobotsari, 03 September 2012